SOSIALISASI ANAK USIA PRASEKOLAH
Ahad, 1 Oktober 2017

Bagi saya, Anda dan kita semua yang sudah memasuki dunia kerja, tentu menyadari bahwa cerdas saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan hidup. Diperlukan pula ketrampilan-ketrampilan lainnya yang menunjang gerak gerik kita di dunia yang semakin kompetitif ini, antara lain ketrampilan bersosialisasi atau social skills. Cerdas saja bisa jadi percuma jika seseorang tidak tahu bagaimana membawa diri, bagaimana menghadapi berbagai karakter orang atau tidak mampu membaca situasi yang tepat dimana dia bisa menunjukkan kecerdasannya.

Social skills bukanlah bawaan, melainkan sesuatu yang harus dipelajari dan diberi kesempatan untuk melatihnya. Kapan waktu yang tepat untuk belajar? Ya, sedini mungkin. Ingatlah masa kecil kita dimana kita diberi kesempatan untuk bermain dengan anak lain atau diajarkan bagaimana bersikap jika bertamu. Momen-momen seperti itu sebenarnya merupakan ajang belajar bersosialisasi. Zaman sekarang yang semuanya serba cepat, praktis tapi di lain sisi juga keras dan kompetitif, menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak kita. Tidak cukup hanya sekedar les berhitung atau berbahasa asing untuk bekal hidup mereka kelak. Anak-anak butuh lebih dari itu. Nah, sudah menjadi tugas orangtua sebagai orang terdekat bagi anak untuk mengajarkan dan memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan ketrampilan sosialisasinya. Umumnya ketika anak menginjak usia 2-3 tahun, dia sudah mulai terdorong untuk mengetahui dan melibatkan diri dengan lingkungan di luar rumah. Sebagian besar anak usia ini, sudah mulai menghadiri secara rutin Kelompok Bermain. Di usia inilah ketrampilan sosialisasi anak mulai berkembang dimana anak belajar berbagi, menunggu giliran, bersikap sopan pada orang lain, bagaimana mempertahankan haknya, dan sebagainya.

Perkembangan ketrampilan sosialisasi anak bisa dilihat dari kegiatan bermain mereka. Mildred Parten (Mayke S. Tedjasaputra, 2001) menyoroti kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi dan ada enam bentuk interaksi antar anak yang terjadi pada saat mereka bermain. Pada keenam aktivitas bermain tersebut terlihat adanya peningkatan kadar interaksi social mulai dari bermain sendiri sampai bermain bersama. Berikut tahapan bermain yang menggambarkan perkembangan tingkat sosialisasi anak:

         Unoccupied play, anak tidak benar-benar terlibat dalam aktivitas bermain tapi hanya mengamati kejadian di sekitar yang menarik baginya. Jika tidak ada yang menarik, anak akan sibuk sendiri seperti memainkan anggota tubuh.

         Solitary play, anak sibuk main sendiri dan tidak memperhatikan kehadiran anak-anak lain. Anak baru memperhatikan anak lain jika anak tersebut mengambil alat mainannya.

         Onlooker play, anak hanya mengamati anak lain yang sedang bermain dan terlihat ada minat yang semakin besar terhadap aktivitas bermain yang dilakukan anak lain tersebut. Jenis aktivitas bermain ini tampak di usia 2 tahun atau pada anak yang memasuki lingkungan baru sehingga masih malu/ragu untuk bergabung.

         Parallel play, dua anak atau lebih bermain dengan mainan yang sama, melakukan gerakan yang sama tapi tidak ada interaksi diantara mereka. MIsalnya, membuat bangunan sendiri-sendiri dari balok-balok.

         Associative play, ditandai dengan adanya interaksi seperti saling tukar mainan tapi belum terlibat dalam kerja sama.

         Cooperative play, ditandai dengan adanya kerja sama, pembagian tugas atau peran antar anak yang terlibat dalam satu permainan untuk mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya main sekolah-sekolahan. Jenis kegiatan bermain ini biasanya sudah tampak ketika anak berusia 5 tahun. Namun perkembangannya tergantung sejauh mana orangtua memberi kesempatan dan dorongan pada anak agar bergaul dengan anak-anak sebaya lainnya. Jika kesempatan ini kurang, bisa jadi tahapan bermaian cooperative play tidak tercapai.

Ketrampilan sosialisasi secara garis besar memiliki 3 landasan, yaitu kontrol emosi, empati dan komunikasi (Gwen Dewar, 2008). Orangtua yang ada di samping anak sejak lahir, memiliki kesempatan besar untuk memupuk ketiganya sejak dini. Percayalah, orangtua tetap adalah guru terbaik bagi anak. Berikut bahasan yang menggambarkan bagaimana orangtua dapat mengembangkan ketiganya.

Ajarkan anak tentang emosi

            Sebelum dapat mengontrol emosinya, anak perlu diajarkan terlebih dulu untuk mengenali emosinya. Perkenalkan kata/label yang menggambarkan perasaan tertentu seperti sedih, senang, marah, takut, dan lain-lain, dengan menggunakan gambar/foto ekspresi emosi yang relevan. Ini bisa dilakukan sambil mendongeng atau membacakan buku pada anak dimana orangtua bisa menunjukkan ekspresi emosi tertentu pada wajah tokoh cerita. Apabila anak sudah bisa diajak berkomunikasi dua arah, orangtua bisa membicarakan tentang emosi bersama anak. Misalnya, ayah bercerita tentang bagaimana senangnya pagi tadi karena jalanan tidak macet atau sebaliknya.

            Setelah anak mengenali berbagai jenis perasaan dan ekspresi, dia bisa belajar bagaimana mengontrolnya. Proses ini tidak berjalan berurutan (mengenali dulu baru mengontrol) tapi bisa terjadi secara bersamaan dalam sekali waktu. Ketika anak sedang marah, sedih atau merajuk, justru inilah momen belajar emosi. Bicaralah dengan anak tentang apa yang ia rasakan, ajarkan bagaimana memverbalisasikan perasaannya dan bagaimana cara yang tepat untuk mengeskpresikannya. Tentu saja pembicaraan ini bisa dilakukan setelah sebelumnya anak ditenangkan terlebih dahulu. Ingat, proses belajar ini tidak instan, jadi butuh waktu dan pengulangan.

Bermainlah dengan anak

            Di tengah kepadatan aktivitas orangtua, sediakanlah waktu untuk bermain bersama anak. Dijamin tidak ada kerugian waktu bagi orangtua, jika kita betul-betul menyadari manfaatnya. Anak di usia prasekolah (2 sampai 7 tahun), sangat menyukai permainan drama, main pura-puta atau role play. Libatkanlah diri Anda dalam permainan ini sehingga anak bisa sekaligus belajar dari Anda bagaimana bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya, ketika anak sedang main pura-pura sebagai guru dan Anda sebagai murid. Anda bisa mencontohkan bagaimana sikap yang baik sebagai murid. Semakin berganti-ganti peran yang dimainkan semakin banyak pula nilai-nilai social yang bisa diserap anak dari Anda. Permainan ini juga sekaligus bisa mengembangkan kemampuan komunikasi anak.

Rangsang komunikasi sedini mungkin

            Dasar dari komunikasi yang baik adalah perkembangan bahasa.  Karenanya rangsang perkembangan bahasa anak sejak dini. Berbagai macam stimulasi bisa dilakukan orangtua di rumah, mulai dari mengajak anak bicara, membacakan cerita, bermain bersama  atau menyanyi bersama. Semuanya bisa dilakukan bahkan sejak anak di dalam kandungan dan lebih meningkat intensitasnya ketika anak lahir. Berikan pemahaman yang sama pada semua orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti baby sitter, nenek, tante dan lainnya agar mereka juga melakukan stimulasi yang sama. Gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak mau tidak mau memang berpengaruh pada perkembangan sosialisasi mereka.

            Mengembangkan kemampuan komunikasi dengan anak bisa dilakukan dalam bentuk yang sederhana saja yaitu mengajak anak bicara. Tapi ingat, gunakan bahasa yang benar bukan baby talk. Anak butuh mendengar bahasa dalam bentuk dan penggunaan yang benar agar mereka dapat meniru. Bicaralah perlahan pada anak agar mereka mudah mencernanya dan usahakan untuk menekankan terlebih dulu pada bahasa ibu agar anak tidak mengalami kebingungan bahasa. Berikan pula anak mainan yang dapat merangsang kemampuan bahasanya seperti buku cerita, boneka, telepon mainan, mikrofon mainan.

Biarkan anak bermain dengan anak sebaya lainnya

            Selama berpraktek sebagai psikolog, saya banyak menemui kasus kesulitan bersosialisasi pada anak datang dari anak-anak yang memang kurang mendapat kesempatan bermain dengan teman sebayanya. Terkadang orangtua sering menganggap anak sudah mendapatkan kesempatan ini di sekolah. Tetapi anak butuh kesempatan ini juga di luar sekolah dimana lingkungannya lebih bebas dan tidak berstruktur. Dalam lingkungan seperti ini, persinggungan antar anak dengan teman sebayanya lebih banyak dan juga lebih kaya. Di sinilah anak belajar mengembangkan ketrampilan sosialnya. Misalnya, bagaimana mengatur giliran bermain secara mandiri tanpa ada guru yang mengatur atau bagaimana bersikap ketika mainannya direbut ketika tidak ada guru yang membela.  Oleh karena itu, playdates atau kencan bermain dengan teman sebaya  secara rutin (bisa dengan anak tetangga atau teman dari sekolah) itu penting bagi pengembangan ketrampilan sosialisasi anak. Untuk memaksimalkan manfaatnya, momen bermain bersama ini tetap perlu pengawasan agar Anda atau pengasuh bisa intervensi jika ada hal-hal kurang berkenan yang terjadi seperti teman anak Anda justru memberi pengaruh negatif misalnya.

Perlihatkan contoh yang baik

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ungkapan ini seringkali benar pada kenyataannya. Begitu pula untuk masalah pengembangan sosialisasi. Selain mengajarkan, orangtua juga perlu memberikan contoh dari perilaku yang diharapkan pada anak. Contoh, perilaku apa yang bisa diharapkan dari anak jika orangtuanya sendiri memilih makan menyendiri di suatu pesta ketimbang menyapa teman-teman lain yang juga hadir di sana. Perlihatkanlah perilaku percaya diri dan luwes berinteraksi dengan orang lain sehingga anak bisa merekam dan mengaplikasikannya pada kesempatan lain di dunia pergaulannya sendiri.

            Mengingat pentingnya membekali anak dengan ketrampilan bersosialisasi, dibutuhkan komitmen dari orangtua untuk tidak mengabaikan hal yang seolah remeh ini (seringkali tidak terlihat sepenting kemampuan berhitung). Ketrampilan sosialisasi berperan penting dalam perkembangan kepercayaan diri anak menghadapi lingkungan sosialnya. Kepercayaan diri yang memadai memberikan kontribusi positif pada pembentukan konsep diri anak. Kepercayaan diri dibutuhkan anak untuk menghadapi tantangan dalam hidupnya seperti memasuki lingkungan sekolah yang lebih formal kelak dimana lingkungan sosialnya lebih beragam. Juga pada masa remaja dimana anak memasuki dunia yang sangat rentan pengaruh dari lingkungan sosial. Jika dia punya rasa percaya diri yang kuat, ini bisa jadi benteng agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.

 

Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi.

Referensi:

1.    Mayke S.  Tedjasaputra, Bermain, Mainan dan Permainan, Grasindo, 2001

2.    www.teachersandfamilies.com

3.    � 2008 Gwen Dewar

4. Laura E. Berk, Infants, Children & Adolescents, Allyn & Bacon, 2002